Kamis, 04 Februari 2010

PENCEMARAN UDARA


A. PENCEMARAN UDARA DARI SUMBER BERGERAK

Kegiatan transportasi memberikan kontribusi sekitar 70% terhadap pencemaran udara di kota-kota besar. Di Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek) jumlah kendaraan bermotor
tahun 2000 menurut Polda Metro Jaya-POLRI telah mencapai 4.159.442 unit yang didominasi oleh jenis kendaraan mobil penumpang. Di Bandung jumlah kendaraan bermotor untuk tahun 2000 mencapai 588.640 unit. Jumlah kendaraan tersebut belum termasuk kendaraan yang datang ke Bandung pada setiap akhir pekan sebanyak 10-25%.


Kendaraan bermotor yang beroperasi di Indonesia sampai akhir tahun 2001 berjumlah 20,78 juta unit yang terdiri dari 3,1 juta unit mobil penumpang (15%), 684 ribu unit bis (3%), 1,75 juta unit truck (9%), 15,2 juta unit sepeda motor (73%). Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang cukup berarti dari tahun ke tahun mengakibatkan terjadi penurunan kualitas udara ambien yang diakibatkan gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor tersebut.

Walaupun jumlah kendaraan bermotor setiap tahun selalu bertambah (Tabel 3.1), namun panjang jalan baik jalan negara, propinsi maupun kabupaten relatif tidak berubah
(Tabel 3.2). Hal inilah menjadi penyebab terjadinya kemacetan di jalan raya yang pada akhirnya menambah parahnya pencemaran udara setempat. Faktor yang mempengaruhi tingginya pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan
jumlah kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak (BBM) dan masih digunakannya jenis bahan bakar minyak mengandung Pb, penggunaan teknologi
lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia dan minimnya budaya perawatan kendaraan secara teratur. Kondisi tersebut ditambah oleh buruknya manajemen lalu lintas yang berakibat inefisien dalam pemakaian BBM.

Bahan bakar kendaraan bermotor di Indonesia didominasi oleh premium dan solar. Bahan bakar premium sebagian besar belum ramah lingkungan karena masih menggunakan
Pb sebagai peningkat angka oktan yang menjadi penyumbang terbesar pencemaran udara.

B. PENCEMARAN UDARA DARI SUMBER TIDAK BERGERAK

1. Industri
Sektor industri merupakan penyumbang pencemaran udara setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit tenaga. Salah satu penyebab meningkatnya pencemaran udara di Indonesia adalah urbanisasi dan industrialisasi yang tumbuh dengan cepat tetapi tidak dibarengi dengan pengendalian pencemaran yang memadai dan efisien dalam penggunaan bahan bakar fosil.


2. Rumah Tangga
Penggunaan bahan bakar fosil dan kayu di rumah tangga ikut menyumbang pencemaran udara dari sumber tidak bergerak meskipun tidak sebesar kontribusi pencemaran
industri.
3. Kebakaran Hutan
Pada dasarnya, hutan hujan tropis Indonesia bersifat selalu basah dan hijau sehingga tidak mudah terbakar secara alami. Musim kemarau berkepanjangan, ulah dan kelalaian
manusia, penebangan liar, membuka lahan dengan cara membakar, dan masyarakat pendatang yang tidak tahu cara penanganan lahan menjadi akar permasalahan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun merupakan penyumbang terjadinya pencemaran udara di beberapa propinsi seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung, serta negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Asap pekat dari kebakaran hutan menjadi bahan pencemar udara.
Sebagai hasil dari proses pembakaran, di dalam asap terkandung campuran gas-gas dan partikel-partikel yang mengancam kesehatan manusia dan menambah jumlah gas rumah kaca di atmosfer.

Asap akibat kebakaran hutan telah mengganggu kesehatan masyarakat, terutama masyarakat rentan seperti orang lanjut usia, ibu hamil, dan anak-anak bawah lima
tahun (balita). Gangguan kesehatan, antara lain, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma bronkial, bronkhitis, pnemonia (radang paru), iritasi mata dan kulit.

C. SISTEM PEMANTAUAN KUALITAS UDARA
Untuk dapat memberikan kemudahan dan keseragaman informasi tentang kualitas udara ambien kepada masyarakat di suatu lokasi dan waktu tertentu, serta sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya pengendalian pencemaran udara, telah ditetapkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997. Secara umum definisi ISPU adalah angka yang tidak
mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu yang didasarkan dampaknya pada kesehatan manusia, mahluk hidup lainnya, dan nilai estetika.

Nilai ISPU diperoleh dari perhitungan angka konsentrasi lima senyawa pencemar udara yang diukur oleh Stasiun Pemantau Kualitas Udara Ambien. Lima senyawa pencemar udara itu adalah PM10, CO, SO2, NO2, dan ozon (O3). Rentang nilai ISPU ditentukan berdasarkan efek kesehatan potensial yang bisa timbul. Hasil pemantauan kualitas udara di 10 kota di Indonesia, dari 33 stasiun permanen dan sembilan stasiun bergerak/mobil, pada tahun 2002, menunjukkan kategori baik dan sedang. Pada saat kebakaran hutan dan lahan di Pontianak, Palangka Raya dan Pekanbaru terdeteksi
kategori tidak sehat, sangat tidak sehat dan berbahaya dengan parameter kritis PM10 (Gambar 3.2). Kondisi kualitas udara kembali memburuk pada periode Juli-Oktober 2002 akibat pencemaran asap yang terjadi secara terus-menerus yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Di Medan dan Pekanbaru nilai ISPU meningkat pada bulan Juli-Agustus dan dikategorikan sedang hingga tidak sehat. Sedangkan wilayah Kalimantan nilai ISPU meningkat tajam pada bulan Juli-Oktober terutama di Palangkaraya dan Pontianak. Rata-rata kualitas udara di Pontianak dan Palangkaraya dikategorikan berbahaya. Nilai ISPU tertinggi di Palangkaraya mencapai 1353 (September) dan 1251 (Oktober). Nilai ISPU tertinggi di Pontianak mencapai 842 (Juli) dan 743 (Agustus), sedangkan data ISPU pada bulan September hingga Oktober tidak tersedia karena alat pemantau rusak.

NB. dari berbagai sumber

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity