Perlindungan kapasitas dari fungsi atmosfer merupakan isu lingkungan yang sangat penting bagi Indonesia. Atmosfer mempunyai fungsi yang sangat vital sebagai sistem
pendukung kehidupan di bumi, baik adanya lapisan ozon pada ketinggian antara 25-40 km maupun konsentrasi gas-gas rumah kaca pada ketinggian antara 10-25 km. Lapisan ozon berfungsi melindungi bumi dari sinar ultra violet yang dipancarkan oleh matahari. Penipisan lapisan ozon disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia perusak lapisan ozon (ozone depliting substance - ODS).
Di Indonesia ODS yang terbanyak dikonsumsi adalah CFC (Chloro Fluoro Carbon) dan Indonesia termasuk dalam katagori negara Artikel 5 berdasarkan Protokol Montreal karena konsumsi CFC dan halon kurang dari 0,3 kg/kapita/tahun. Dengan demikian Indonesia berhak atas bantuan teknis dan bantuan dana untuk mengubah teknologi ODS ke teknologi non-ODS.
Dampak penipisan lapisan ozon antara lain adalah meningkatnya intensitas sinar ultra violet yang mencapai permukaan bumi yang mengganggu kesehatan, menyebabkan kanker kulit, katarak, dan penurunan daya tahan tubuh, dan bahkan terjadinya mutasi genetik.
Menipisnya lapisan ozon mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan, kerusakan rantai makanan di laut, musnahnya ekosistem terumbu karang dan sumber daya laut lainnya, menurunnya hasil produksi pertanian yang dapat mengganggu ketahanan pangan, dan bencana alam lainnya Upaya untuk melindungi lapisan ozon adalah menggantikan
ODS dengan alternatif lain yang bersifat tidak beracun, tidak merusak ozon dan ramah lingkungan seperti HCFC (Hydro Chloro Fluoro Carbon), HFC (Hydro Fluoro Carbon), atau gabungan keduanya.
Melalui bantuan dana hibah Multilateral Fund (yang diimplementasikan oleh UNDP, UNIDO dan Bank Dunia), Pemerintah Indonesia sampai saat ini telah memfasilitasi lebih dari 150 perusahaan industri pengguna ODS untuk mengganti teknologinya menjadi teknologi non-ODS, dan telah menurunkan konsumsi ODS sekitar 6.500 MT sejak dimulainya kegiatan ini tahun 1994. Total dana hibah yang telah disalurkan langsung kepada industri sampai bulan Maret 2002 tercatat senilai US $ 37.133.752. Total dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan penghapusan CFC pada tabel 3.11 diperkirakan sebesar US$ 25.3 juta.
UPAYA PENGENDALIAN
Dalam rangka mengatasi pencemaran udara dan atmosfer yang terjadi, berbagai upaya pengendalian telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, yaitu:
1. Pemantauan Kualitas Udara Ambien
Program pemantauan di Indonesia telah dilakukan ditandai dengan pembangunan stasiun pemantau kualitas udara kontinu yaitu pembangunan 33 Stasiun Pemantau Kualitas Udara Permanen dan sembilan Stasiun Pemantau Kualitas Udara Bergerak yang dilakukan pada tahun 1999–2002.
Pembangunan ini merupakan kerja sama antara Pemerintah Indonesia (Bapedal) dengan Pemerintah Austria di 10 kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Pekanbaru, Medan, Palangkaraya, Denpasar, Jambi dan Pontianak. Peralatan pemantau kualitas udara di 10 kota ini mampu memantau lima paramater pencemar udara yaitu PM-10, CO, SO2, NO2, dan O3.
2. Program Langit Biru
Dalam upaya meningkatkan kualitas udara, sejak tahun 1992 telah dilaksanakan Program Langit Biru sebagai upaya untuk mengendalikan pencemaran udara baik yang berasal dari sumber bergerak maupun tidak bergerak yang bertujuan untuk memulihkan kualitas udara serta memenuhi baku mutu udara yang ditetapkan. Pada bulan Agustus 1996 Pemerintah mencanangkan Program Langit Biru sebagai program pengendalian pencemaran udara t tingkat nasional di Semarang. Dalam pelaksanaan Program Langit Biru, pengendalian pencemaran udara difokuskan kepada sumber pencemaran dari industri dan sarana transportasi kendaraan bermotor karena keduanya memberikan kontribusi terbesar dalam pencemaran udara. Tujuan Program Langit Biru adalah :
a. Terciptanya mekanisme kerja dalam pengendalian pencemaran udara yang berdaya guna dan berhasil guna;
b. Terkendalinya pencemaran udara;
c. Tercapainya kualitas udara ambien yang memenuhi standar kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya;
d. Terwujudnya perilaku manusia sadar lingkungan.
Pengendalian pencemaran udara dari sarana transportasi kendaraan bermotor meliputi:
a. Pengembangan perangkat peraturan
• Pentaatan peraturan perundangan, dimana kendaraan bermotor yang mengeluarkan emisi gas buang ke udara harus memenuhi Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: KEP-13/MenLH/3/1995 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor;
• Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 1999 yang mengatur BBM (Bahan Bakar Minyak) bebas timah hitam serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar internasional;
• Dikeluarkannya Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1585.K/32/1999 tentang Persyaratan Bahan Bakar Jenis Bensin dan Solar Dalam Negeri dengan ketentuan: BBM (Bahan Bakar Minyak) dalam negeri wajib memperhatikan perkembangan kinerja dan teknologi permesinan serta ramah lingkungan. Penyediaan bahan bakar ramah lingkungan
paling lambat 1 Januari 2003;
• Dikeluarkannya Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal kepada Menteri Pertambangan dan Energi No. B-189/BAPEDAL/02/2000 tanggal 4 Februari 2000 yang isinya agar pengadaan bahan bakar bensin bebas timbal segera sebelum tahun 2003 untuk wilayah DKI Jakarta dan penyesuaian harga BBM;
• Draft final Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Pedoman Pelaksanaannya. Kepmen tersebut menetapkan baku mutu kendaraan baru melalui 3 tahapan yaitu tahun: 2003-2005 (menggunakan bensin bertimbal); 2006-2008 (bensin tanpa timbal, EURO 1); dan 2009 keatas (EURO 2);
• Adanya kesepakatan ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merk) terhadap dikembangkannya
mandatory disclosure for vehicle emissions.
b. Penggunaan bahan bakar bersih (cleaner fuels) • Bensin tanpa timbal akan diadakan secara bertahap (2003-2005) di Indonesia menjelang dioperasikannya kilang Balongan
dan Cilacap pada tahun 2005 yang dapat menyediakan bensin tanpa timbal untuk seluruh Indonesia. Pada masa transisi tersebut bensin tanpa timbal dihadirkan di Bali (Februari 2003), Batam (Juni 2003) dan daerah Pantai Utara Jawa (Agustus 2003);
• Pengadaan bahan bakar solar/diesel dengan kandungan sulfur rendah. Upaya akan dijajaki dengan DSDM-Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral/Pertamina.
c. Pengembangan bahan bakar alternatif
• Penyiapan sarana dan prasarana bagi penggunaan bahan bakar alternatif CNG
(Compressed Natural Gas) maupun LPG (Liquid Petroleum Gas) di seluruh Indonesia
khususnya di kota-kota besar antara lain 10.000 kendaraan angkutan umum/taksi
dan 500 bis. BBG (Bahan Bakar Gas) akan ditingkatkan penggunaannya pada kendaraan umum seperti bus kota;
• Energi alternatif lainnya adalah LPG. Kendala yang dihadapi dalam penggunaan BBG seperti LNG (Liquid Natural Gas) dan LPG adalah mahalnya harga converter kit yaitu sekitar US$2000. Untuk itu perlu adanya kebijakan harga yang tepat untuk memacu penggunaan bahan bakar gas LNG dan LPG tersebut.
• Penggunaan energi alternatif yang berasal dari sumber energi nabati lainnya biofuel/biodiesel) dengan menggunakan minyak kelapa sawit /CPO (Crude Palm Oil).
d. Pengembangan manajemen transportasi
• Upaya pengelolaan model transportasi melalui pengelolaan lalu lintas di jalan,
pengalihan model transportasi ke jenis angkutan lain (misalnya kereta api),
peremajaan angkutan umum disesuaikan dengan kebijakan umum tata ruang kota
metropolitan. Hal ini untuk menekan kemacetan yang dapat meningkatkan emisi
kendaraan bermotor di daerah perkotaan.
e. Pengembangan teknologi
• Penggunaan catalytic converter yang dapat menyaring 90% emisi gas buang kendaraan
bermotor dengan syarat: bensin harus tanpa timbal;
• Pengembangan fasilitas pengukuran emisi kendaraan bermotor, baik untuk kendaraan
baru maupun kendaraan yang di jalan.
f. Pemantauan emisi gas buang kendaraan bermotor
• Sosialisasi baku mutu emisi kendaraan bermotor tipe baru;
• Pemantauan pelaksanaan uji emisi di daerah;
PARAMETER
Status Lingkungan Hidup Indonesia 2002
• Pengembangan pelaksanaan kegiatan uji emisi kendaraan di jalan oleh pemerintah
daerah;
• Penyelenggaraan lomba emisi.
g. Pemberdayaan peran masyarakat melalui komunikasi massa.
• Meningkatkan akses masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai upaya pengendalian emisi kendaraan bermotor melalui website, artikel dan media lainnya;
• Sosialisasi program kepada para pengambil keputusan (DPR, DPRD, sektor
dan pemerintah daerah);
• Pembuatan iklan layanan masyarakat.
4. Pengendalian pencemaran udara dari industri meliputi:
• Pentaatan peraturan perundang-undangan dimana industri yang mengeluarkan emisi gas
buang ke udara harus memenuhi Keputusan Menteri Negara LH No: KEP-13/MenLH/3/
1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak. Industri-industri tersebut berpotensi besar dalam pencemaran udara, industri dengan kapasitas produksi yang besar dan industri yang berlokasi di daerah sensitif seperti daerah pemukiman, sekolah dsb.
• Peningkatan peran industri untuk mentaati Baku Mutu Emisi melalui penandatanganan SUPER (Surat Pernyataan) dengan insentif dan disinsentif; Relokasi industri (pencemar udara) ke kawasankawasan industri atau zona industri;
• Pengkajian Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak sebagaimana Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 tahun 1995 diantaranya, PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), Semen, CEM (Continuous Emission Monitoring);
• Pengembangan Baku Mutu Emisi Industri lain meliputi industri minyak, pupuk elektronik, PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Disel);
• Pemenuhan aspek-aspek pendukung (baku mutu emisi beberapa jenis industri, peningkatan peran masyarakat, pemantauan, penyusunan dan penetapan pedoman-pedoman teknis)
5. Kebijakan Antisipasi Deposisi Asam Dalam rangka antisipasi dampak deposisi asam terutama pencemaran lintas batas, Kementerian Lingkungan Hidup berkoordinasi dengan instansi lain melakukan pemantauan status deposisi asam serta dampaknya. Untuk melaksanakan ini telah dibentuk jaringan pemantauan deposisi asam ditingkat nasional yang dikoordinasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dengan anggota Sarpedal KLH, Badan Meteorologi dan Geofisika, Pusat Penelitian Atmosfer LAPAN, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air; serta Pengembangan Tanah dan Agroklimat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Air, Dep. Kimpraswil.
Dalam kaitannya dengan upaya regional menanggulangi masalah deposisi asam ini, Kementerian Lingkungan Hidup sebagai focal point ikut serta dalam kegiatan Jaringan
Pemantauan Deposisi Asam di wilayah Asia Timur (East Asia Network on Acid Deposition Monitoring-EANET) yang diprakarsai oleh Pemerintah Jepang melalui Acid Deposition
and Oxidant Research Center-ADORCH. EANET merupakan kerjasama 10 negara di wilayah Asia Timur, yaitu: Cina, Indonesia, Jepang, Malaysia, Mongolia, Filipina, Korea Selatan, Thailand, Rusia dan Vietnam.
6. Kebijakan Antisipasi Perubahan Iklim Secara umum respon yang dilakukan Indonesia berkaitan dengan masalah perubahan iklim terdiri dari dua hal. Pertama, menurunkan laju emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor dan kedua melakukan adaptasi menghadapi perubahan iklim apabila terjadi. Respon tersebut dilaksanakan atas dasar sukarela dan dapat menunjang pembangunan berkelanjutan. Kementerian Lingkungan Hidup sebagai National Focal Point perubahan iklim telah melaksanakan berbagai persiapan dan koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka menyusun kebijakan dan strategi nasional dalam mengantisipasi dampak negatif akibat adanya perubahan iklim, antara lain :
• Persiapan pembentukan Komisi Nasional Perubahan Iklim;
• Ikut aktif terlibat dalam menghadiri pertemuan tahunan para pihak COP (Conference of The Parties) sebagai konsekuensi dari keterlibatan Indonesia menjadi negara yang ikut meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim;
• Mempersiapkan bahan untuk Ratifikasi Protokol Kyoto.
7. Kebijakan Perlindungan Lapisan Ozon di Indonesia
Indonesia sesuai dengan Protokol Montreal dan Amandemen Copenhagen Konvensi Wina, yang sudah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1992, berkewajiban menghapus penggunaan bahan perusak ozon kelompok CFC secara bertahap sampai dengan 1 Januari 2010. Pemerintah Indonesia menetapkan jadwal penghapusan penggunaan ODS pada tahun 2007. Indonesia mempunyai kewajiban untuk:
• Mengembangkan program perlindungan lapisan ozon di tingkat nasional;
• Melaksanakan upaya penghapusan ODS secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi negara berkembang;
• Melaporkan tingkat pemakaian ODS di Indonesia;
• Tidak melaksanakan perdagangan ODS dengan negara-negara yang belum meratifikasi Konvensi dan Protokol Montreal.
NB. dari berbagai sumber
Read More......